Tangis di Jalan Bungah: Tragedi Bus Peziarah Wali yang Gagal Sampai ke Tanah Suci
Subuh belum lama lewat saat iring-iringan bus peziarah dari Pandaan, Pasuruan, mulai meninggalkan kota kecil mereka. Harapan dan doa memenuhi udara pagi itu. Rombongan yang terdiri dari jemaah umrah dan peziarah wali, sebagian besar lansia dan keluarga, membawa semangat spiritual yang besar—bagi sebagian dari mereka, ini adalah perjalanan yang sudah ditabung bertahun-tahun, mungkin satu-satunya seumur hidup.
Namun takdir berkata lain.
Di tengah perjalanan mereka menuju Bandara Juanda untuk kemudian berangkat ke Tanah Suci, tragedi menanti di tikungan maut Jalan Raya Bungah, Gresik. Sekitar pukul 04.00 pagi, bus berpelat AB 7072 KN yang mereka tumpangi melaju cukup cepat dari arah utara menuju selatan. Sementara itu, dari arah berlawanan, sebuah truk tronton besar tampak melaju stabil.
Beberapa detik sebelum benturan, warga sekitar yang menyaksikan dari pinggir jalan melihat bus mulai oleng ke kanan, melewati garis marka jalan. Suara klakson panjang terdengar, diikuti dengan benturan keras yang memekakkan telinga. Suara besi menghantam besi, kaca pecah, dan teriakan pilu mewarnai udara pagi yang seharusnya penuh ketenangan.
Bus menghantam bagian depan truk secara frontal. Benturan itu begitu dahsyat hingga bagian depan bus ringsek total. Sebagian penumpang terlempar keluar jendela, beberapa lainnya terjepit di dalam, sementara sisanya hanya bisa menjerit dalam ketakutan dan kesakitan.
Korban Jiwa
Lima orang dinyatakan meninggal dunia di lokasi kejadian. Di antara mereka adalah:
Kasmini (63 tahun) – Seorang nenek yang dikenal sebagai guru ngaji di kampungnya. Ia duduk di baris depan.
Noman Alif Agustyahya (28 tahun) – Pria muda yang baru menikah. Ini adalah perjalanan pertamanya ke luar kota tanpa istri.
Untanta Ihza Mahendra (18 tahun) – Remaja cerdas yang baru saja lulus SMA. Ia menabung sendiri untuk bisa ikut ibunya ziarah.
Anik (51 tahun) – Ibu dari dua anak, yang terakhir kali berpamitan sambil menitip pesan, “Kalau Ibu pulang, doakan kamu bisa menyusul ya nak.”
Auliyah Mahfiroh Rahmadani (17 tahun) – Remaja ceria yang dikenal aktif di kegiatan remaja masjid.
Tangis keluarga pecah di Pandaan saat kelima jenazah dibawa pulang. Tidak ada yang menyangka, perpisahan sederhana itu menjadi perjumpaan terakhir. Warga dan keluarga menyambut kepulangan mereka dengan isak dan doa, mengiringi jenazah ke peristirahatan terakhir.
Sang Sopir Jadi Tersangka
Masrukin (55), sopir bus, yang selamat dari kecelakaan, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Berdasarkan penyelidikan, ditemukan bahwa ia kehilangan konsentrasi akibat kelelahan. Ada dugaan bahwa ia mengemudi dalam kondisi mengantuk, yang membuatnya kehilangan kendali atas kendaraan.
“Dia sudah lebih dari 10 jam mengemudi, dan itu sangat berisiko,” ujar salah satu petugas kepolisian yang menangani kasus ini.
Kesedihan yang Meluas
Kecelakaan ini menyisakan luka mendalam, bukan hanya untuk keluarga korban, tapi juga untuk seluruh masyarakat yang menyaksikan bagaimana impian spiritual yang tulus itu berakhir tragis di jalanan. Banyak warga desa yang ikut merasakan duka karena para korban adalah tokoh masyarakat, tetangga dekat, dan kerabat.
Pihak penyelenggara umrah dan ziarah juga tak luput dari sorotan. Meski kecelakaan tidak langsung disebabkan oleh kelalaian mereka, banyak pihak mulai mempertanyakan jadwal perjalanan yang terlalu padat dan minimnya kontrol atas kondisi sopir.
Refleksi di Tengah Duka
Tragedi ini adalah pengingat pahit tentang pentingnya keselamatan dalam setiap perjalanan, apalagi yang menyangkut puluhan nyawa. Rombongan yang tadinya hendak mendekatkan diri kepada Tuhan, justru harus berpulang lebih dulu—dalam keadaan yang penuh luka.
Namun, bagi keluarga dan sahabat yang ditinggalkan, mereka percaya: para korban telah mengakhiri hidup mereka dalam perjalanan mulia. Dan dalam doa yang dikirim setiap malam, nama-nama itu disebutkan... dengan harap, mereka telah mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.