Penjual di TikTok Shop hingga Shopee Akan Dipungut Pajak, Ini Plus Minusnya
Jakarta, 26 Juni 2025 — Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan aturan baru yang bakal berdampak besar bagi jutaan pelaku usaha daring. Dalam waktu dekat, penjual di platform e-commerce seperti TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, Lazada, dan marketplace lainnya akan dikenakan pungutan pajak penghasilan (PPh) sebesar 0,5 persen dari omzet penjualan mereka. Aturan ini rencananya akan berlaku mulai Juli 2025.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menunjuk platform-platform tersebut sebagai pemungut pajak otomatis dari para penjual. Skema ini menyasar pelaku usaha dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar, sesuai dengan batasan UMKM dalam ketentuan PPh Final.
Kebijakan ini dinilai sebagai upaya pemerintah memperluas basis penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang pertumbuhannya sangat pesat, namun kontribusi pajaknya masih relatif rendah. “Ini adalah langkah untuk menyetarakan kewajiban perpajakan antara penjual daring dan luring,” ujar seorang pejabat DJP yang enggan disebutkan namanya.
Namun, kebijakan ini juga menuai kekhawatiran. Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) serta para pelaku UMKM memperingatkan potensi dampak negatif jika kebijakan diterapkan tanpa masa transisi dan sosialisasi yang cukup. Mereka menilai potensi kesalahan pemotongan, beban teknis di sisi platform, dan tekanan terhadap pedagang kecil bisa menjadi risiko serius.
Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, menyebut bahwa e-commerce harus diberikan waktu untuk menyiapkan sistem pemungutan pajak yang akurat dan terintegrasi dengan DJP. Ia juga menyoroti perlunya pelatihan dan pendampingan bagi pelaku UMKM yang selama ini belum terbiasa dengan sistem perpajakan digital.
Dari sisi pemerintah, kebijakan ini dipandang mampu menekan praktik ekonomi bayangan (shadow economy) yang selama ini sulit diawasi. Dengan menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak, DJP berharap dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak tanpa membebani pelaku usaha kecil dengan kewajiban administratif yang rumit.
Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi fiskal pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara di tengah tekanan APBN 2025, yang mengalami penurunan 11 persen dibanding tahun sebelumnya.
Meski menuai pro dan kontra, arah kebijakan ini dinilai penting dalam membangun sistem perpajakan yang lebih inklusif dan setara. Keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada kesiapan teknologi, sosialisasi menyeluruh, dan dukungan berkelanjutan kepada pelaku usaha digital di seluruh Indonesia.