Ironi Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta di Tengah Perjuangan Buruh Naikkan UMP 2026

· 3 min read
dynasty4dtoto-gifoasistogel-gif
Ironi Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta di Tengah Perjuangan Buruh Naikkan UMP 2026

Ironi Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta di Tengah Perjuangan Buruh Naikkan UMP 2026

Jakarta, 23 Agustus 2025 — Kebijakan pemberian tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menuai sorotan tajam dari publik. Di tengah perjuangan para buruh menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026, keputusan ini dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi rakyat.

Kebijakan ini muncul seiring dengan dihapuskannya fasilitas rumah dinas bagi 580 anggota DPR periode 2024–2029. Sebagai gantinya, pemerintah—melalui Kementerian Keuangan—menetapkan besaran tunjangan perumahan yang diklaim telah melalui kajian kebutuhan properti di ibu kota.

"Gaji pokok DPR tidak naik. Hanya ada tambahan tunjangan perumahan karena rumah dinas dihapus," ujar Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, dalam keterangannya kepada media.

Namun demikian, total penghasilan yang diterima anggota DPR kini mencapai hampir Rp 70 juta per bulan, setelah tunjangan ditambahkan. Hal ini memicu pertanyaan publik, terutama terkait urgensi dan efektivitas penggunaan anggaran negara.

Di sisi lain, para buruh justru tengah berjibaku memperjuangkan hak dasar mereka: kenaikan upah minimum yang layak. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh mengusulkan kenaikan UMP 2026 sebesar 8,5% hingga 10,5%, dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

Mereka merencanakan aksi nasional damai pada 28 Agustus 2025, yang akan melibatkan buruh dari 38 provinsi dan ratusan kabupaten/kota. Aksi ini bertujuan untuk menekan pemerintah agar menetapkan UMP yang lebih mencerminkan kebutuhan hidup layak.

"Sementara wakil rakyat hidup nyaman dengan tunjangan puluhan juta, kami pekerja harus turun ke jalan hanya untuk meminta kenaikan beberapa ratus ribu," ungkap Said Iqbal, Presiden KSPI.

Kritik terhadap tunjangan rumah DPR tidak hanya datang dari kalangan buruh. Pengamat kebijakan publik dan ekonom menilai kebijakan ini memperparah kesenjangan sosial dan mencederai rasa keadilan. Sebab, di saat negara sedang fokus menyeimbangkan anggaran dan mendongkrak daya beli rakyat, alokasi anggaran miliaran rupiah justru dikucurkan untuk fasilitas elite.

Dengan situasi ini, jurang antara pengambil kebijakan dan rakyat pekerja semakin terasa lebar. Muncul pertanyaan besar: Apakah kebijakan publik saat ini benar-benar berpihak pada rakyat?

Logo
Copyright © 2025 Tumble. All rights reserved.